Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ibrahim, dia berkata, “Pernah Abdurrahman bin Auf dihidangkan makan
malam setelah siangnya dia berpuasa. Ketika itu, dia sedang membaca firman
Allah
إِنَّ لَدَيْنَآ أَنكَالاً وَجَحِيمًا
{12} وَطَعَامًا ذَا غُصَّةٍ وَعَذَابًا أَلِيمًا {13}
“Sesungguhnya di sisi Kami ada
belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala, dan makanan yang
menyumbat di kerongkongan dan adzab yang pedih.” (QS. Al-Muzammil:
12-13).
Setelah membaca ayat tersebut beliau terus-menerus menangis hingga makan
malamnya pun dibereskan (at-Takhwif min An-Nar, Hal: 122).
Dia tak tahan membayangkan demikian dahsyatnya siksa neraka dan dia
benar-benar takut akan mengalami hal demikian kalau seandainya Allah
memasukkannya ke dalam neraka. Padahal kita telah ketahui, Abdurrahman bin Auf
adalah termasuk dari sepuluh orang sahabat Nabi yang Nabi janjikan termasuk
penghuni surga.
Tafsir ayat:
Ibnu Katsir mengatakan, إِنَّ لَدَيْنَآ أَنكَالاً maksudnya
adalah belenggu-belenggu, dan kalimat وَجَحِيمًا maksudnya adalah api yang
bergejolak.
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat وَطَعَامًا ذَا غُصَّةٍ maksudnya adalah makanan yang
menyangkut di tenggorokan, sehingga tidak dapat masuk dan keluar. -Semoga Allah
melindungi kita semua dari hal ini-.
Syaikh as-Sa’di dalam menafsirkan ayat إِنَّ لَدَيْنَآ أَنكَالاً,
beliau mengatakan maksudnya adalah siksaan yang pedih, yang Allah jadikan belenggu
bagi orang yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat Allah Subhanahu
wa Ta’ala murka. Kalimat وَجَحِيمًا artinya neraka Hamiyah. Sedangkan
firman-Nya وَطَعَامًا ذَا غُصَّةٍ maknanya adalah makanan tersebut menyangkut
di tenggorokan karena pahit, busuk, dan aromanya yang tidak enak.
Demikianlah apa yang dirasakan oleh Abdurrahman bin Auf saat membaca
ayat tersebut. Dia adalah seorang yang sahabat senior yang memahami Alquran,
dan memiliki keyakinan yang sangat mendalam tentang kebenaran berita Alquran.
Keyakinan dan rasa takut neraka benar-benar beliau hadirkan dalam perasaannya,
sehingga membuatnya tidak sanggup untuk menikmati hidangan malam itu walaupun
berpuasa pada siang harinya.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim bin Jammaz, “Aku mendengar Abu
Ja’far bercerita kepada kami tentang Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, ketika beliau membaca ayat,
إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ
“Apabila matahari digulung.” (QS. At-Takwir:
1)
Hati beliau sangat tersayat-sayat ketika membaca atau mendengar ayat
tersebut, hingga beliau sampai larut dalam tangisan yang mendalam.” (Siyaru
A’lam an-Nubala, Jilid 2, Hal: 628-629).
Ayat ini adalah bagian dari surat At-Takwir yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentang surat tersebut,
“Barangsiapa yang ingin melihat (keadaan) hari kiamat seolah-olah dia
melihat (langsung dengan) matanya maka hendaknya dia membaca (surat) at-Takwir, al-Infithar dan al-Insyiqaq” (HR at-Tirmidzi
5:433, Ahmad 2:27, dan al-Hakim 4:620)
Dan itulah kesan yang ditangkap Abu Hurairah ketika mendengar atau
membaca surat tersebut.
Tamim
ad-Dari radhiallahu ‘anhu
Diriwayatkan dari Masruq radhiallahu ‘anhu, dia berkata,
“Seorang laki-laki dari Mekah berkata kepadaku, ‘Ini adalah makam saudaramu,
maksudnya makam Tamim ad-Dari. Di suatu malam aku pernah melihat Tamim sedang
membaca Alquran dengan rukuk, sujud, dan menangis hingga menjelang datangnya
subuh. Dia membaca ayat,
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا
السَّيِّئَاتِ أَن نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
سَوَآءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَآءَ مَايَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang membuat
kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan
kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS.
Al-Jatsiyah: 21)
Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd:
I: Hal: 164.
An-Najasyi
Namanya adalah Ash-Hamah, Raja Habasyah. Inilah kesan pertamanya ketika
mendengar ayat Alquran dilantunkan. Kisah ini bermula pada saat para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Habasyah.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, beliau berkisah:
Ketika kami tiba di tanah Habasyah, an-Najasyi melindungi kami dengan
perlindungan yang sangat baik. Kami merasa aman menjalankan agama, dan kami
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tenang. Kami
tidak pernah mendengar sesuatu yang membuat kami sedih.
Suatu hari Raja Habasyah hendak berdialog dengan kaum muslimin. Ummu
Salamah melanjutkan, orang yang berbicara kepada raja adalah Ja’far bin Abu
Thalib, ‘Wahai Raja, dulu kami kaum jahiliyyah, menyembah berhala, memakan
bangkai, melakukan perzinahan, memutus silaturahim, buruk dalam bertetangga,
dan yang kuat memakan yang lemah. Kami tetap dalam kondisi seperti itu hingga
Allah mengutus seorang rasul dari golongan kami kepada kami’.
Lalu Najasyi berkata kepada Ja’far bin Abu Thalib, “Apakah kamu membawa
ajaran yang dibawanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Ia berkata,
‘Ya’. Najasyi berkata, “Bacakan untukku.” Lalu Ja’far membacakan ayat, “Kaaf
Haa Yaa ‘Ain Shaad (surat Maryam).”
Ummu Salamah berkata, “Demi Allah, Najasyi menangis hingga membasahi
jenggotnya dan para uskupnya pun ikut menangis, hingga air mata mereka menetes
di kitab-kitab mereka ketika mendengar ayat yang dibacakan Ja’far. Kemudian
Najasyi berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini sama dengan yang dibawa Musa,
yang benar-benar keluar dari sumber yang sama. Pergilah, aku tidak akan
menyerahkan kalian kepada mereka (kafir Quraisy) selama-lamanya (al-Majma’
jilid VI, Hal: 27).
Berikut ini firman Allah yang diturunkan berkaitan dengan kisah
an-Najasyi ini
وَإِذَا سَمِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَى
الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرِفُوا مِنَ
الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَآءَامَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Dan apabila mereka mendengarkan apa
yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air
mata disebabkan kebenaran (Alquran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab
mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka
catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Alquran
dan kenabian Muhammad). (QS. Al-Maidah: 83)
Inilah kesan pertama an-Najasyi saat pertama kali mendengarkan ayat
Alquran.
Mari kita sama-sama koreksi diri kita, sejauh mana kedudukan Alquran di
hati kita?
Mari kita bersama perhitungkan diri kita yang mengatakan ingin menjadi
penghuni surga, bagaimana keadaan kita dibandingkan calon penghuni surga
seperti Abdurrahman bin Auf? Apakah kita mulai meniti ke arah sana ataukah
malah menjauh dari sifat-sifat penghuni surga tersebut?
Semoga Allah memberi taufik kepada kita mengamalkan apa yang Dia cintai
dan Dia ridhai. Allahumma amin..
Ditulis
oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com
https://kisahmuslim.com/3756-tangisan-orang-orang-shalih.html
Tiada ulasan:
Catat Ulasan