1. Adakah yang lebih halus dari suara hati di kala ia menegur kita tanpa suara?
2. Adakah yang lebih jujur dari nurani, ketika ia menyedarkan kita tanpa kata-kata?3. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, ketika ia menghentak kita dari berbagai kesalahan dan kealpaan?
Ya, sebenarnya saat yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini adalah saat kita mampu secara jujur dan tulus mendengar bisikan nurani.
Ini adalah kerana dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita akan menemui arahnya yang benar.
Dari sana, amal-amal dan segala proses kehidupan kita memiliki tempat berpijaknya yang kukuh iaitu :
- Niat yang tulus.
- Orientasi yang lurus.
Di dalam hati kita iaitu di dasar sanubari kita yang paling dalam :
- Ada kekuatan yang sangat perkasa.
- Ada sumber kedamaian yang tiada tara.
Allah swt berfirman :
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
(QS Al-A'raf : 172)
Fitrah ketundukan itu merupakan warna asli dari keseluruhan tabiat fizikal dan psikologi kita.
Fitrah, yang dengannya :
- Manusia diperintahkan.
- Membantu kita menyuluh diri.
- Menjadi pelita penerang jalan.
Dalam suatu kesempatan, Rasulullah saw pernah mengajarkan kepada seorang sahabat bagaimana cara yang sederhana menentukan sesuatu itu baik atau buruk :
"Istafti qalbaka", iaitu :
“Mintalah fatwa kepada hatimu”.
Dalam kesempatan yang lain, baginda mengatakan bahwa barangsiapa yang amal baiknya membuat hatinya suka dan amal buruknya membuat ia gelisah, maka dia itu muslim.
Ini bermakna, dalam banyak perkara, semestinya orang boleh bertanya kepada hati nuraninya apakah sesuatu itu baik atau buruk.
Manusia diberi kemampuan untuk mengetahui secara asasnya apa sahaja yang layak atau tidak untuk dilakukan kerana ia telah diciptakan dalam keadaan mempunyai ukuran kepatutan kemanusiaannya.
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. "
(QS Asy Syams : 8)
Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia tidak banyak mengerti tentang ajaran wahyu Allah dan semestinya ia masih dapat mendengar secara tulus apa suara hati dan bisikan nuraninya.
Tetapi kemudahan dan sekaligus kesulitan manusia terletak pada haknya untuk memilih antara yang benar dan salah berdasarkan ilham itu.
Maka Allah tidak semata-mata mencukupkan kita dengan hati nurani, namun pada masa yang sama, Ia menurunkan wahyu serta mengutus para Rasul untuk mengajarkan manusia bagaimana mengelola rasa hati tersebut, sekaligus mempertajamkan hati nuraninya. Di sanalah berpadu antara kelurusan tujuan dengan dasar-dasar tabiat kemanusiaan.
Melalui Al-Qur'an, Islam membimbing manusia bagaimana menitikberatkan kepada hasrat hidup bermakna sebagai motif asasi.
Dengan kata lain, kita mesti menjalani hidup ini dengan :
Makna yang jelas.
Rasa penuh erti yang sebenar-benarnya.
Teori ini amat berlawanan dengan :
Teori "hasrat untuk hidup senang" (the will to pleasure) ciptaan Sigmond Freud.
Teori "hasrat untuk hidup berkuasa" (the will to power) yang dikumandangkan oleh Alfred Adler.
Keseragaman, kestabilan, ketenangan, kedamaian dan juga kebahagiaan manusia, berkadar lurus dengan sejauh mana ia menyelaraskan diri dengan fitrahnya serta menghadapkan wajahnya ke jalan Islam.
Bila manusia menyalahinya, akan menjadikan banyak unsur dalam kehidupan ini tidak mampu berfungsi dengan baik di mana akan ada banyak ketempangan dan kejanggalan yang menjadikan kehidupan tidak berjalan di atas landasan yang sepatutnya.
Allah swt berfirman :
"Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kukuh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan." (QS Luqman : 22)
Fitrah yang telah ditetapkan atas diri manusia itu tidak akan berubah walauapapun peradaban dan kemajuan yang telah dicapai oleh manusia.
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah Allah itu. Tidak ada penambahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Ar-Ruum : 30)
Seringkali bisikan nurani nyaris tidak terdengar lantaran tersumbat oleh daki-daki hawa nafsu atau terselimut dengan dosa-dosa dan kemaksiatan.
Mungkin, di antara kita pernah menemui hari-hari yang terasa :
Gersang.
Kering.
Tidak ada setitis pun kesegaran.
di mana kehidupan seperti tidak berdenyut dan nyaris tanpa rasa ghairah.
Begitulah hati menjadi air muka kita :
Pahit atau manisnya.
Ia juga menjadi ruh kehidupan kita :
Redup atau terangnya.
Dalam makna ini, barangkali, kita menghayati penjelasan Rasulullah saw bahwa Allah tidak melihat kepada penampilan lahiriah manusia tetapi melihat kepada isi hati mereka.
Maka, mengotori hati dengan dosa sama ertinya dengan :
- Memadamkan cahayanya.
- Mengacau kejernihan suaranya.
- Memandulkan ketajamannya.
"Sesungguhnya, dosa-dosa itu bila terus menerus menimpa hati, maka ia akan menutupinya. Dan bila hati telah tertutup, akan datang kunci dan cap dari Allah swt. Bila sudah demikian, tidak ada lagi baginya jalan, tidak ada jalan keimanan untuk masuk ke dalamnya, tidak juga jalan kekafiran untuk keluar darinya."
Tidak semua orang boleh mendengar bisikan nuraninya.
Ramai orang silau dengan kehidupan yang kian berwarna, padahal, kebersihan hati bukan sahaja pelita di dunia, malah ia juga menjadi bekalan menghadap Allah swt.Kelak, ketika manusia diadili di hadapan Allah swt, pada hari ketika anak dan harta tidak berguna, hanya hati yang bersihlah yang boleh menghantarkan manusia menghadap Allah.
"Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS Asy-Syu'ara : 89)
Sudah sampai masanya kita perlu mendengarkan bisikan nurani kita dengan tulus, jujur dan penuh kelapangan kerana suara hati kita, nurani kita dan kata hati kita adalah jati diri keaslian kita di mana kita tidak akan mengkhianatinya.
Ameen Ya Rabbal Alameen
http://johor.ikram.org.my
Tiada ulasan:
Catat Ulasan