Khamis, 3 September 2015

WALI SONGO UTUSAN KHALIFAH

Boleh dikatakan tidak akan ada Islam di Indonesia tanpa peranan khilafah. Orang sering 

mengatakan bahawa Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa disebarkan oleh

Walisongo. Tapi tidak banyak orang tahu, siapa sebenarnya Walisongo itu? Dari mana 

mereka berasal? Tidak mungkin mereka tiba-tiba ada, seolah turun dari langit?

Dalam kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di 

Muzium Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahawa Walisongo dikirim oleh Sultan 

Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada pembesar

Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki

kemampuan diberbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.

Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para Dai atau ulama yang diutus khalifah di masa 

Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata 

tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar

sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syeikh 

Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400an. Beliau seorang ahli politik dan 

kedatangannya itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus 

mengembangkan bidang pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari

Palestin yang berdakwah di Banten. iaitu Maulana Hasanudin, Datuk Sultan Ageng 

Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan 

biologis dan ideologis dengan Palestin.

Sementara itu Syeikh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang lebih dikenali dengan 

sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Kedua-duanya juga berasal dari Palestin

Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus –

berasal dari kata al Quds (Jerusalem).

Dari para wali itulah kemudian Islam tersebar ke merata tempat di sekitar seperti yang 

kita lihat sekarang. Oleh kerana itu, sungguh aneh kalau ada dari umat Islam sekarang 

yang menolak khilafah. Itu sama ertinya ia menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek 

moyangnya dapat mengenal Islam hasil daripada para ulama yang diutus oleh para 

khalifah.

Islam masuk ke Indonesia pada abad 7M (abad 1H), jauh sebelum penjajah datang

Islam terus berkembang dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah 

kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi 

kesultanan Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M), 

Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku 

(Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); Kesultanan Sambas, 

Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai di 

Kalimantan.

Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan 

BantenDi Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, 

Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana 

dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan menjelma

menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh da

n sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut.

      PERIODE DAKWAH WALI SONGO
Kita sudah mengetahui bahawa mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata 

pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenali dengan 

nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad

 al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari 

Palestin, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke 

tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan

 Syah penguasa Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik 

Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.

Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa

 menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh 

Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja 

Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan 

Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).

Mulai tahun 1463M makin banyak Da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i 

yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana 

Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said

 (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan 

Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi 

Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.

Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang bererti Tuanku di kalangan

para wali, menunjukkan bahawa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan 

elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal 

tunggu waktu.

Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard 

Lewis menyebutkan bahawa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim 

seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan 

bahawa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia memeluk agama Islam jika 

kekhalifahan Utsmaniyah mahu menolong mereka.

Pada ketika itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah 

yang mendesak, iaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan

Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah

armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut 

persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung.

Namun, sebahagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-

kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak iaitu memulihkan dan 

memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. 

Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknision juga 

membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa 

setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai 

kandungan dokumen di negara Turki.

Hubungan ini dikukuhkan lagi dalam gelaran penganugerahan kehormatan di antaranya 

Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelaran

Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu.

Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelaran Sultan 

dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M) dengan gelaran Sultan Abdullah Muhammad 

Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim 

utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah.

Hasil misi ke Mekah ini sangat berjaya, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten 

sejak awal memang menganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk 

Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan 

Ageng Tirtayasa mendapat gelaran sultan dari Syarif mekah.

Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan ketenteraan yang diberikan oleh 

Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan 

bahawa kesultanan Aceh telah menerima bantuan ketenteraan berupa senjata disertai 

dengan kepakaran kententeraan dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922).

Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahawa pada tahun 1563 Pemimpin Muslim di Aceh

mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis.

Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya mengangkut persenjataan dan 

persediaan; walaupun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.

Pada tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk 

meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang 

Turki beserta sejumlah besar persenjataan (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan 

Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatera, meskipun armada itu lalu dialihkan ke 

Yaman. Bahkan Snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung 

kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar

ke seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di 

Batavia membahagi-bahagikan al-Quran atas nama Sultan Turki.

Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa Melayu karangan Abdur Rauf Sinkili 

yang pada halaman depannya terteradicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang 

Islam”. Sultan Turki juga memberikan biasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab 

di Batavia untuk bersekolah di Turki.

Pada masa itu, yang disebut-sebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin 

Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu, Snouck Hurgrounye sebagaimana 

dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahawa rakyat kebanyakan pada umumnya di 

Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah 

air, melihat kedudukan Stambol (Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah) sebagai 

seorang raja bagi semua orang mukmin walaupun kekuasaannya mungkin agak sedikit 

berkurang kerana adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih dan tetap 

[dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia.

Mereka juga beranggapan bahawa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk 

dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan 

bahawa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki 

Utsmani.
Dengan demikian, hubungan atau perkaitan Nusantara sebagai bahagian dari Khilafah

pada era Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada 

pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai 

Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari 

Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah.
Dengan mengangkat sistem kehilafahan pada ketika itu, Syarif Mekkah adalah Gabenor 


(wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi,


wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata-mata  penganugerahan gelar melainkan

pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan ertinya penguasa. Kerananya

penganugerahan gelaran sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa 

Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah

Utsmaniyah di Turki.
      KESIMPULAN
•  Jumlah dai yang diutus ini tidak hanya sembilan (Songo). Bahkan ada 6 angkatan yang dikirimkan, masing-masing jumlanya sekitar sembilan orang. (Versi lain mengatakan 7 bahkan 10 angkatan kerana dilanjutkan oleh anak / keturunannya)
• Para Wali ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki. Beliau ini ahli politik & irigasi, wafat di Gresik. Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.
•  Seangkatan dengan beliau ada DUA orang wali dari Palestin yang berdakwah di Banten; salah seorang daripada mereka ialah Maulana Hasanudin, beliau adalah datuk kepada Sultan Ageng Tirtayasa.
•  Juga Sultan Aliyudin, beliau dari Palestin dan tinggal di Banten. Jadi masyarakat Banten mempunyai hubungan darah dan ideologi dengan Palestin.
•  Juga Syaikh Ja'far Shadiq dan Syarif Hidayatullah; dikenal disini sebagai Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati; mereka berdua dari Palestin.
•  Maka jangan hairan, Sunan Kudus mendirikan Kota dengan nama Kudus, mengambil nama Al-Quds (Jerusalem) dan Masjid al-Aqsha di dalamnya.
          (Sumber Muhammad Jazir, seorang budayawan & sejarawan Jawa, Pak Muhammad           Jazir ini juga penasihat Sultan Hamengkubuwono X).
•  Adapun menurut Berita yang tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi.
•  Sultan Muhammad I itu membentuk kumpulan yang dianggotai oleh 9 orang untuk berangkat ke pulau Jawa dimulai pada tahun 1404. Kumpulan tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki.

     Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H. Terdiri daripada:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.

   Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri daripada :
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina
8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.

   Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri daripada:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestin
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

   Wali Songo Angkatan ke-4 (1473 M), terdiri daripada:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestin
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

   Wali Songo Angkatan ke-51(478 M), terdiri daripada:
1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestin
6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

  Wali Songo Angkatan ke-6 (1479 M) terdiri daripada:
1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestin
6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

sumber:http://www.timunbulat.com/2015/08/wali-songo-utusan-khalifah.html#.VehR4diba1k.facebook

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

KALAM ULAMA - HABIB ALI ALHABSYI

Part 1 1. Ibu saya membiasakan saya dari kecil untuk berdoa sebelum tidur , " ya Allah... ampunilah kesalahan orang-orang yang hari ini...