Khamis, 15 November 2012

Syarat Menggapai Ilmu yang Bermanfaat


Syarat Menggapai Ilmu yang Bermanfaat
Gambar hiasan
Mencari ilmu yang bermanfaat merupakan hal yang sudah diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, terlebih lagi oleh para penuntut ilmu agama, keutamaan besar yang Allah sediakan bagi orang-orang yang mempelajari ilmu agama. Keutamaan tersebut disebutkan dalam banyak ayat Al Quran dan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta keterangan dari para ulama salaf. 

Imam Ibnul Qayyim dalam juz pertama dari kitab beliau “Miftahu daaris sa’adah” memuat pembahasan khusus tentang keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama, dalam bab yang berjudul: Keutamaan dan kemuliaan (mempelajari) ilmu (agama), penjelasan tentang besarnya tuntutan untuk (mempelajari) ilmu ini, serta tergantungnya kesempurnaan (iman) dan keselamatan seorang hamba di dunia dan akhirat kepada ilmu (agama) ini .

Dalam bab tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan lebih dari seratus lima puluh perkara mengenai  keutamaan ilmu, berdasarkan dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta keterangan para ulama salaf rahimahumullah, sehingga pembahasan tentang keutamaan ilmu yang beliau sebutkan dalam kitab ttersebut adalah pembahasan yang sangat lengkap dan menyeluruh, yang mungkin tidak kita dapati di kitab-kitab para ulama lainnya.

Namun sayangnya, kebanyakan dari kita – termasuk para penuntut ilmu sendiri – seringkali lalai dan kurang menyedari bahawa ilmu yang dimaksud dalam ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukanlah sekedar teori belaka, yang hanya terlihat dalam bentuk hafalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah dan menyampaikan hasil kajian, atau gelaran yang disandang, tanpa adanya wujud nyata dan pengaruh dari kemanfaatan ilmu tersebut bagi orang yang mempelajarinya.

Semoga Allah  meredhai dan merahmati sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berkata: “Bukanlah ilmu itu (hanya) dengan banyak (menghafal) hadits, akan tetapi ilmu (yang bermanfaat) itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada Allah)”([1]).

Dalam atsar shahih lainnya Abdullah bin Mas’ud juga berkata di hadapan sahabat-sahabatnya: “Sesungguhnya kalian (sekarang) berada di zaman yang banyak terdapat orang-orang yang berilmu tapi sedikit  yang suka berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu zaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang berilmu”([2]).

Definisi Ilmu Yang Bermanfaat (Al ‘Ilmu An Naafi’)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyebutkan definisi Ilmu yang bermanfaat dengan dua penjelasan yang lafazhnya berbeda, akan tetapi kedua-duanya saling melengkapi dan sama sekali tidak bertentangan.

Dalam kitab beliau “Fadhlu ‘ilmis salaf ‘ala ‘ilmil khalaf” (hal. 6) beliau berkata: “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan Al Qur-an dan Hadits.

(Begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah subhaanahu wa ta’ala) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya. Semua ini sangat cukup (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat) bagi orang yang berakal dan merupakan kesibukkan (yang bermanfaat) bagi orang yang memberi perhatian dan berkeinginan besar (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat)”.

Adapun dalam kitab beliau yang lain “Al Khusyuu’ fish shalaah” (hal. 16) beliau berkata: “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang masuk (dan menetap) ke dalam relung hati (manusia), yang kemudian melahirkan rasa tenang, takut, tunduk, merendahkan dan mengakui kelemahan diri di hadapan Allah ”.

Kedua-dua penjelasan Imam Ibnu Rajab ini sepintas kelihatannya berbeza dan tidak berhubungan, akan tetapi kalau diamati dengan saksama kita akan dapati bahawa kedua-dua penjelasan tersebut sangat bersesuaian dan bahkan saling melengkapi. Ini kerana pada penjelasan definisi yang pertama, beliau ingin menjelaskan sumber ilmu yang bermanfaat, iaitu ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits yang shahih (benar periwayatannya) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang difahami berdasarkan penjelasan dari para sahabat Nabi, Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka. Ini bererti, seseorang tidak akan mungkin sama sekali boleh mendapatkan ilmu yang bermanfaat tanpa mengambilnya dari sumber Al ‘Ilmu An Naafi’ yang satu-satunya ini.

Adapun dalam penjelasan definisi yang kedua, beliau ingin menjelaskan hasil dan pengaruh dari ilmu yang bermanfaat, iaitu menumbuhkan dalam hati orang yang memilikinya rasa tenang, takut dan ketundukan yang sempurna kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ini bererti bahawa ilmu yang hanya pandai diucapkan dan dihafalkan oleh lidah, tapi tidak menyentuh – apalagi masuk ke dalam hati manusia, maka ini sama sekali bukanlah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu seperti ini justru akan menjadi bencana bagi orang yang memilikinya, bahkan  menjadikan pemiliknya terkena ancaman besar – semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala melindungi kita semua – termasuk ke dalam tiga golongan manusia yang pertama kali menjadi bahan bakar api neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih([3]).

Jenis ilmu inilah yang dimiliki oleh orang-orang Khawarij([4]) dan kelompok-kelompok bid’ah lainnya yang menjadikan mereka menyimpang sangat jauh dari pemahaman Islam yang benar, sebagaimana yang digambarkan oleh Nabi  shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menerangkan sifat-sifat Khawarij dalam sabda beliau : “Mereka selalu mengucapkan kata-kata yang baik (dan indah kedengarannya), mereka (mahir) dalam membaca (dan menghafal) Al Quran, akan tetapi bacaan tersebut tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka), mereka keluar dengan cepat dari agama ini seperti anak panah yang (menembus dan) keluar dengan cepat dari sasarannya…”([5]).

Sebaliknya, Allah  memuji orang-orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat dan meneguhkan keimanan mereka dengan menjadikan Al Quran sebagai sumber petunjuk yang menetap di dalam hati mereka, Allah berfirman:

{بل هو آيات بينات في صدور الذين أوتوا العلم}

“Sebenarnya, Al Qur-an itu adalah ayat-ayat yang jelas (yang terdapat) di dalam dada (hati) orang-orang yang diberi ilmu. (QS Al ‘Ankabuut:49).

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas berkata: “Maknanya: Al Quran adalah ayat-ayat yang nyata dan jelas sebagai petunjuk kepada (jalan) yang benar, dalam perintah, larangan maupun berita (yang dikandung)nya, dan Allah memudahkan bagi orang-orang yang berilmu untuk menghafal, membaca dan memahami (kandungan)nya”([6]).

Syarat Mendapatkan Ilmu Yang Bermanfaat

Setelah kita memahami definisi ilmu yang bermanfaat, dan bahwasanya hafalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah dan menyampaikan hasil kajian, mahupun gelaran yang disandang seseorang, tidaklah menjadi jaminan bahawa ilmu yang dimilikinya adalah ilmu yang bermanfaat yang akan selalu membimbingnya dalam menuju redha Allah , apalagi dengan melihat kenyataan pada zaman sekarang banyak orang yang dipuji kerana hal-hal di atas, tapi sama sekali tidak terlihat pengaruh dan manfaat ilmu yang dipelajarinya dalam akhlak dan tingkah lakunya.

Maka setelah itu, timbul pertanyaan, bagaimanakah cara untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat itu? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat: bagaimanakah cara untuk menjadikan ilmu yang kita pelajari bermanfaat bagi kita dalam membimbing kita untuk semakin dekat kepada Allah , sehingga semakin banyak ilmu yang kita pelajari semakin kuat pula keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah?

Untuk menjawab pertanyaan penting di atas, dengan memohon taufik dari Allah, kami akan menyampaikan kesimpulan dari tulisan Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah -rahimahullah- tentang cara mengambil manfaat dari Al Qur-an (termasuk ilmu agama lainnya secara keseluruhan) dan syarat-syaratnya, dalam kitab beliau “Al Fawaaid” (hal. 9-10), dengan tambahan penjelasan dari kami untuk mempermudah dalam memahaminya.

Dalam pembahasan tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan bahawa secara umum untuk membolehkan mengambil pengaruh dan manfaat yang maksima dari segala sesuatu yang ingin kita ambil pengaruh darinya, maka ada empat faktor yang harus diwujudkan, semakin sempurna keempat faktor ini terwujud maka semakin maksima pula pengaruh yang kita dapatkan daripadanya.

Keempat-empat faktor itu adalah: sumber pengaruh yang baik, media untuk menerima pengaruh, upaya untuk mendapatkan pengaruh tersebut, dan upaya untuk menghilangkan penghalang dan penghambat yang menghalangi sampainya pengaruh tersebut.

Dalam hubungannya dengan mengambil manfaat dan pengaruh yang baik dari ilmu agama yang kita pelajari, keempat-empat faktor tersebut terangkum dalam kalimat yang ringkas tapi sarat makna dalam firman Allah Ta’ala:

{إن في ذلك لذكرى لمن كان له قلبٌ أو ألقى السمع وهو شهيد}

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya” (QS Qaaf: 37).

Penjelasan tentang keempat faktor tersebut adalah sebagai berikut:

- Faktor pertama: sumber pengaruh (ilmu) yang baik, ini diisyaratkan dalam potongan ayat di atas: (“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran)”), artinya, kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat dari ilmu yang kita pelajari, maka kita benar-benar harus memilih sumber rujukan ilmu yang terjamin kebaikannya.

Kerana tujuan kita mempelajari ilmu agama tentu saja bukan hanya untuk sekadar menambah wawasan atau sekedar teori yang hanya berupa hafalan yang kuat atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah, tapi tujuan kita adalah agar ilmu tersebut memberikan manfaat dalam membimbing kita untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Sehingga sumber ilmu yang kita jadikan rujukan benar-benar harus terbukti bisa mewujudkan tujuan tersebut.

Oleh karena itulah, Al Quran dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sumber ilmu bermanfaat yang paling utama kerana kedua-duanya adalah wahyu dari Allah Ta’ala yang memiliki sifat-sifat yang Maha Sempurna. Demikian pula kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama salaf dan para ulama yang mengikuti petunjuk mereka, karena kitab-kitab ditulis oleh orang-orang yang benar-benar memiliki keikhlasan, ilmu dan ketakwaan, sehingga manfaatnya dalam menyalurkan kebaikan dan ketakwaan kepada orang yang mengkajinya jelas lebih besar dari pada kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut.

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab beliau “Shifatush shafwah” (4/122)([7]) menukil ucapan Hamdun bin Ahmad Al Qashshar([8]) ketika beliau ditanya: Apa sebabnya ucapan para ulama salaf lebih besar manfaatnya dibandingkan ucapan kita? Beliau menjawab: kerana mereka berbicara (dengan niat) untuk kemuliaan Islam, keselamatan diri (dari azab Allah Ta’ala), dan mencari redha AllahTa’ala, adapun kita berbicara (dengan niat untuk) kemuliaan diri (mencari populariti), kepentingan dunia (material), dan mencari keredhaan manusia”.

Demikian pula termasuk dalam posisi sebagai sumber pengaruh dalam hal ini adalah seorang da’i dan ustadz yang menyampaikan ceramah atau kajian ilmu agama. Oleh kerana itu, memilih pendidik ilmu agama yang baik dalam ilmu dan ketakwaannya adalah kewajiban yang selalu ditekankan oleh para ulama ahlus sunnah bagi para penuntut ilmu. Ini kerana kalau seorang da’i atau ustadz tidak memiliki ketakwaan dalam dirinya, maka bagaimana mungkin dia berupaya menjadikan muridnya memiliki ketakwaan sedangkan dia sendiri tidak memilikinya? Salah satu ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:

فاقِِدُ الشيء لا يُعْطِيه

“Sesuatu yang tidak punya tidak mampu memberikan apa-apa” ([9]).

Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu”([10]).

Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala, iaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

{وكيف تكفرون وأنتم تتلى عليكم آيات الله وفيكم رسوله}

“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian (wahai para sahabat Nabi), (sampai) menjadi kafir, kerana ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing)” (QS Ali ‘Imraan:101).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Makna ayat di atas: sesungguhnya kekafiran itu sangat jauh dan tidak akan mungkin terjadi pada diri kalian (wahai para sahabat Nabi), kerana ayat-ayat Allah turun kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam di waktu siang dan malam, yang kemudian beliau membacakan dan menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada kalian”([11]).

Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri([12]) dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (2/576), ketika Khalid bin Shafwan([13]) menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik([14]) dengan berkata: “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”, setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata: “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”

Oleh kerana itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’([15]) tentang sedikitnya pengaruh ceramah yang disampaikannya dalam merubah akhlak orang-orang yang mendengar ceramahnya, maka Muhammad bin Waasi’ berkata: “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan ceramah yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya peringatan (nasihat) itu jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati  maka (akan mudah) masuk ke dalam hati (orang yang mendengarnya)” ([16]).

- Faktor kedua: Media untuk menerima pengaruh dan manfaat dari ilmu, dalam hal ini adalah hati yang bersih, ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat di atas: (“bagi orang-orang yang mempunyai hati”). Ertinya, kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat dari ilmu yang kita pelajari, maka kita benar-benar harus membersihkan dan menyiapkan hati kita, kerana ilmu yang bermanfaat tidak akan masuk dan menetap ke dalam hati yang kotor dan dipenuhi noda syahwat atau syubhat.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Yang dimaksud dengan hati (sebagai media untuk menerima manfaat dan pengaruh dari ilmu di sini) adalah hati yang hidup (bersih dari noda syahwat atau syubhat) yang berupaya memahami (peringatan) dari Allah, sebagaimana (yang disebutkan dalam) firman-Nya:

{إن هو إلا ذكرٌ وقرآنٌ مبينٌ لينذر من كان حياً}

“Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)” (QS Yaasiin: 69)([17]).

Oleh kerana itu, upaya untuk melakukan tazkiyatun nufus (pembersihan hati dan pensucian jiwa) adalah hal yang wajib dan harus mendapat perhatian besar bagi para penuntut ilmu yang menginginkan manfaat yang baik dari ilmu yang dipelajarinya.

Secara ringkas, berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim menyebutkan bahawa untuk mengupayakan pembersihan dan pensucian jiwa, serta mengubati penyakit-penyakit hati yang menghalangi masuknya ilmu yang bermanfaat, maka ada tiga macam terapi penyembuhan yang harus ditempuh, yang beliau istilahkan dengan “madaarush shihhah” (ruang lingkup penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang  diterapkan oleh para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam cara penyembuhan tersebut adalah:

1). Hifzhul quwwah (memelihara kekuatan dan keadaan hati), iaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan amalan shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti membaca Al Quran dengan menghayati kandungan maknanya, berzikir, mempelajari ilmu agama yang bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dan lain-lain.

2). Al Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain), iaitu dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan syariat lainnya, kerana dosa-dosa tersebut akan semakin memperparah dan menambah penyakit hati.

3). Istifragul mawaaddil faasidah (menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan), iaitu dengan cara beristigfar (meminta pengampunan) dan bertaubat dengan taubat yang nashuh (ikhlas dan bersungguh-sungguh) kepada Allah I([18]).

- Faktor ketiga: upaya untuk mendapatkan pengaruh baik dan manfaat dari ilmu, yaitu dengan cara mengkonsentrasikan pendengaran kita terhadap nasehat dan peringatan yang disampaikan di hadapan kita. Ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat di atas: (“Atau orang yang mengkonsentrasikan pendengarannya”).

Maksud dari faktor yang ketiga ini adalah, setelah kita mengupayakan sumber pengaruh ilmu yang baik, demikian pula media untuk menerima pengaruh baik tersebut, maka mestinya pengaruh baik dan manfaat dari ilmu tetap tidak akan didapat tanpa ada penghubung yang menghubungkan antara sumber dan media tersebut. Maka dalam hal ini, banyak membaca Al Quran dengan berusaha menghayati kandungan maknanya, menghadiri majlis ilmu yang bermanfaat, mendengarkan ceramah dan menelaah buku-buku sumber ilmu yang bermanfaat adalah usaha yang harus kita lakukan dan terus ditingkatkan agar manfaat dan pengaruh baik dari ilmu tersebut akan kita perolehi semaksima mungkin.

- Faktor keempat: Usaha untuk menghilangkan penghalang dan penghambat yang menghalangi sampainya pengaruh baik dari ilmu yang bermanfaat. Ini diisyaratkan dalam potongan ayat di atas: (“Sedang dia menghadirkan (hati)nya”). Ini bererti bahawa kelalaian dan berpalingnya hati dari memahami dan menghayati kandungan ilmu ketika ketika kita membaca Al Quran, menghadiri majlis ilmu, atau mendengarkan ceramah, ini adalah penghambat ( penghalang ) utama yang mengahalangi sampainya pengaruh dan manfaat dari ilmu yang sedang kita baca atau dengarkan.

Penutup
Selain mengusahakan keempat-empat faktor di atas, yang tidak kurang pentingnya adalah faktor do’a, kerana bagaimanapun taufik untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat ada di tangan Allah Ta’ala semata-mata. Oleh kerana itulah, di antara do’a Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu ucapan baginda:

اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع ومن نفس لا تشبع ومن دعوة لا يستجاب لها

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak mahu tunduk (kepada-Mu), dari  jiwa yang tidak pernah puas (dengan pemberian-Mu), dan dari do’a yang tidak dikabulkan”([19]).

Yang terakhir, perlu kita ingat bahawa kesungguhan dan usaha maksima kita dalam mengusahakan semua faktor di atas sangat menentukan – dengan taufik dari Allah Ta’ala – dalam berhasil atau tidaknya kita mendapatkan manfaat dan pengaruh baik  dari ilmu yang kita pelajari itu. Ini kerana Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada seseorang sesuai dengan kesungguhan dan usaha bersungguh-sungguh seseorang itu dalam melakukan sesuatu perkara demi untuk mencapai kebaikan dalam agama ini.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ))

“Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam menundukkan hawa nafsu) untuk (mencari keredhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar berserta orang-orang yang berbuat baik”
(QS. Al ‘Ankabuut:69).

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah -rahimahullah- ketika mengulas ayat di atas berkata: “(Dalam ayat ini) Allah  menghubungkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah ‘Azza wa Jalla) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”([20]).

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang Maha Indah dan Agung, serta sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi dan Sempurna agar Dia menganugerahkan kepada kita semua taufik dan hidayah-Nya untuk berupaya mendapatkan manfaat dan pengaruh yang baik daripada ilmu yang kita pelajari, serta menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, Aamiin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, 10 Rabi’ul awwal 1429 H

Abdullah bin Taslim Al Buthoni
Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com dengan judul asli: Ilmu yang Bermanfaat

Nota kaki:
([1]) Tafsir Ibnu Katsir (3/729), Ibnu katsir membawakan ucapan beliau ini dalam menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla :

{إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور}

“Sesungguhnya yang memiliki rasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (tentang agama Allah). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Faathir:28).

([2]) Atsar riwayat Imam Al Bukhari dalam “Al Adabul Mufrad” (no 789) dan Abdurrazzak dalam “Al Mushannaf” (no 3787), dishahihkan oleh Ibnu hajar dalam “Fathul Baari” (10/510) dan dihasankan olah Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no 3189), juga diriwayatkan dari ucapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan dishahihkan olah Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no 2510).
([3]) HR At Tirmidzi (no. 2382), Ibnu Khuzaimah (no. 2482), Ibnu Hibban (no. 408) dan Al Hakim (no. 1527) dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam “Shahih at targiib wat tarhiib” (no. 22), Imam muslim juga meriwayatkan hadits ini dalam “Shahih Muslim” (n0 1905) tanpa lafazh yang kami sebutkan di atas. Perawi hadits di atas menyebutkan bahwa Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu sebelum menyampaikan hadits tersebut sampai pingsan tiga kali berturut-turut karena dasyatnya ancaman dalam hadits tersebut dan ketakutan beliau akan kemungkinan tertimpa ancaman tersebut, maka apakah setelah ini masih ada di antara para penuntut ilmu yang merasa aman dari kemungkinan terkena ancaman ini ??!!!
([4]) Kelompok bid’ah yang pertama kali menyempal dari petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallaahu ‘anhum, kelompok ini terkenal dengan pemahaman sesat mereka yang mudah mengkafirkan kaum muslimin berdasarkan hawa nafsu.
([5]) HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 1066).
([6]) Tafsir Ibnu Katsir (3/552).
([7]) Ucapan ini juga dinukil oleh Abu nu’aim Al Ashbahani dalam kitab beliau “Hilyatul Auliya’” (10/231) dan Al Baihaqi dalam kitab beliau “Syu’abul iimaan” (no. 1842).
([8]) Beliau adalah Abu Shaleh Hamdun bin ahmad bin ‘Umaarah An Naisaabuuri (wafat 271 H), biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin Nubala’” (13/50) karya Imam Adz Dzahabi.
([9]) Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “at-Tawassul, ‘anwaa’uhu wa ahkaamuhu” (hal. 74).
([10]) Muqaddimah shahih Muslim (1/12).
([11]) Tafsir Ibnu Katsir (1/514).
([12]) Beliau adalah Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (4/563).
([13]) Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al Bashri, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).
([14]) Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik bin Marwan bin Al Hakam (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin Nubala’” (5/241).
([15]) Beliau adalah Muhammad bin Waasi’ bin Jabir bin Al Akhnas Al Azdi Al Bashri (wafat 123 H), seorang Imam dari kalangan Tabi’in ‘junior’ yang tat beribadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits, Imam Muslim mengeluarkan hadits beliau dalam kitab “Shahih Muslim” , biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (26/576) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (6/119).
([16]) Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/122).
([17]) Al Fawaaid (hal. 9).
([18]) Lihat kitab “Igatsatul lahfan” (1/16-17).
([19]) HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 2722).
([20]) Al Fawaaid (hal. 83).

http://syababpetarukan.wordpress.com/2011/02/12/syarat-menggapai-ilmu-yang-bermanfaat/

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

12 Insan Yang Bertemu Rasulullah saw Dalam Mimpinya

1. Mimpi Tentang Imam Bukhari Rah.a.  Beliau adalah seorang imam terkemuka ahli hadits. Namanya adalah Muhammad bin Ismail Al Bukhari . Ge...