KiSaH KeSaBaRaN TaNpA BaTaS
http://cintaallahswt.wordpress.com/2012/04/05/kisah-kesabaran-tanpa-batas-6/
1. KESABARAN FATIMAH BINTI RASULULLAH
Fatimah az-Zahra binti Rasulullah pernah mengalami kelaparan selama beberapa hari. Pada ketika itu, suaminya Ali r.a melihat wajahnya pucat pasi. Maka Ali r.a bertanya kepadanya, “Kenapa engkau pucat demikian, wahai Fatimah?”
Fatimah menjawab, “Sejak tiga hari yang lalu kami tidak mempunyai makanan di rumah!”. Ali berkata, “Mengapa engkau tidak memberitahuku?”. Fatimah menjawab, “Sebab, pada malam pernikahan kita dahulu, Rasulullah saw pernah berpesan kepadaku seperti ini : “Wahai Fatimah, Jika Ali r.a datang kepadamu dengan membawa sesuatu, makanlah! Namun, bila ia tidak membawa apa-apa, janganlah sekali-kali menanyakannya”
(Menjadi Wanita Paling Bahagia, 2007)
2. KESABARAN NABI YUSUF AS
Perhatikanlah apa yang terjadi kepada Nabi Yusuf a.s. Dia bersabar dalam menghadapi berbagai ujian, disiksa, dijadikan hamba, dipenjara, dan dihina. Namun Nabi Yusuf tetap menerima apa yang ditakdirkan Tuhan kepada dirinya, sehingga dia mampu bertahan dan akhirnya berbahagia dengan menjadi raja. (Syaikh Abdul Qadir Jailani)
3. KESABARAN ALI BIN ABI THALIB R.A
Ali pernah memanggil hambanya sampai mengulangi sebanyak 3 kali, namun tidak ada jawaban. Maka dicarinya hambanya itu, lalu dilihatnya sedang berbaring. Ali berkata, “Apakah engkau tak mendengar?”. “Ya, saya mendengar”. “Lalu, mengapa engkau tak menjawab?” tanya Ali. “Kerana saya yakin bahawa tuan tak akan menghukumku!”. Mendengar itu, Ali berkata, “Pergilah, engkau kumerdekakan”. (Al-Ghazali)
4. KESABARAN IBRAHIM BIN ADHAM
Dikisahkan bahawa, pada suatu hari, Ibrahim bin Adham pergi ke suatu tempat di padang pasir, dan berjumpa dengan seorang tentera yang menegurnya: “Engkau seorang hamba/budak?” “Ya” jawab Ibrahim. Orang itu bertanya lagi: “Di mana tempat yang dihuni orang banyak?”. Mendengar itu, Ibrahim menunjukkan kawasan pekuburan. Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya: “Yang saya tanyakan adalah tempat yang banyak penghuninya!” Jawab Ibrahim: “Itulah pekuburan”.
Merasa dipermainkan, tentera itu menjadi marah dan memukul kepala Ibrahim dengan sebuah cambuk, sehingga menyebabkannya terluka dan berdarah. Lalu dikembalikannya ke kota dan berjumpa dengan para pengikutnya. Mereka menanyakan: “Apa yang terjadi?” Tentera itu memberi tahu mereka mengenai pertanyaannya serta jawaban yang diterimanya.
Orang-orang itu menjelaskan: “Ini adalah Ibrahim bin Adham!”. Mendengar itu si tentera terkejut dan segera turun dari kudanya, lalu mencium kedua tangan dan kaki Ibrahim, sambil meminta maaf darinya.
Setelah itu beberapa orang menanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa anda mengatakan kepadanya bahwa anda seorang hamba/budak?” Jawab Ibrahim: “Ia tidak menanyakan kepadaku: “Hamba siapa anda?” tetapi bertanya : “Apakah anda seorang hamba/budak?” Maka aku pun menjawab “Ya”. Kerana aku adalah hamba ALLAH. Dan ketika ia memukul kepalaku, kumintakan syurga baginya dari ALLAH SWT”.
Seorang dari mereka bertanya, “Mengapa? Bukankah ia telah menzalimi anda?”. Jawab Ibrahim : “Aku tahu bahawa aku akan memperoleh pahala kerana (bersabar atas) perbuatannya itu. Maka aku tak mahu bahagian yang kuperoleh darinya berupa kebaikan (pahala), sedangkan bahagian yang diperolehnya dariku berupa keburukan (dosa kerana telah memukulnya)”. (Al-Ghazali)
5. KESABARAN PARA WALI ALLAH
Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata, “Aku bersama para murid Syaikh Ahmad mengikuti beliau keluar Baghdad. Setibanya di jambatan yahud, beliau menolakku sampai akau tercampak ke dalam sungai. Pada ketika itu cuaca sangat dingin. Kemudian mereka berlalu dan meninggalkanku.
Aku berkata dalam hati, ‘Aku berniat untuk mandi Jum’at’. Ketika itu aku mengenakan jubah sufi dan di tanganku terdapat sebuah jubah lagi yang membuatku harus mengangkatnya agar tidak basah. Aku keluar dari air lalu memerah jubah tersebut dan menyusul mereka dalam keadaan kedinginan yang menusuk hingga ke tulang.
Melihat keadaanku, para muridnya bermaksud untuk menolongku, namun beliau melarang mereka sambil berkata, “Apa yang aku lakukan adalah untuk mengujinya dan aku mendapati dia bagai gunung, kukuh tak bergerak”. (Mahkota Para Aulia, 2005)
Nota : bagai gunung kokoh tak bergerak maksudnya dalam menghadapi ujian, beliau seperti gunung yang kukuh, tanpa mengeluh, tidak menolak, tidak marah, tidak meminta bantuan makhluk. Dan beliau menerima, redha dan bersabar atas semua ketetapan dan takdir ALLAH yang ditimpakan kepadanya.
6. KESABARAN ABU UTSMAN AL-HIRIY
Suatu ketika Abu Utsman Al-Hiriy sedang berjalan di sebuah lorong sempit. Seketika seseorang dari atap sebuah rumah melemparkan sebuah bakul penuh berisi abu di atas kepalanya. Segera dia turun dari tunggangannya dan melakukan sujud syukur.
Kemudian menepiskan abu itu dari pakaiannya. Dia pun meneruskan perjalanannya tanpa mengatakan sesuatu. Beberapa orang daripada kawan-kawannya berkata kepadanya, “Tidakkah seharusnya anda memarahi mereka?”. Dia menjawab, “Orang yang layak baginya memperoleh hukuman api (neraka), lalu (oleh ALLAH) diberi keringanan dengan hanya menerima hukuman dengan abu, tidaklah patut baginya untuk marah!”
(Al-Ghazali)
7. KESABARAN Uwais Al-Qaraniy
Dikisahkan bahawa Uwais Al-Qaraniy sering dilempari batu oleh sekelompok anak-anak, setiap kali mereka melihatnya. Lalu katanya, “Hai saudara-saudaraku, kalau memang harus kalian melempari aku, tolong lempari aku dengan batu yang kecil-kecil saja. Agar kalian tak melukai kakiku yang akan menghalangiku untuk sholat dengan berdiri”
(Al Ghazali)
8. KESABARAN Muhammad bin Ali at-Tirmidzi
“Apabila guru (Muhammad bin Ali at-Tirmidzi) marah kepada kalian, apakah kalian tahu?” seseorang bertanya kepada keluarga Tirmidzi.
“Ya, kami tahu” mereka menjawab, “Setiap kali ia marah kepada kami, maka ia bersikap lebih ramah daripada biasanya. Kemudian ia tidak mahu makan dan minum. Dia menangis dan memohon kepada ALLAH : “Ya ALLAH, apa perbuatanku yang menimbulkan murka-MU sehingga ENGKAU membuat keluargaku sendiri menentangku? Ya ALLAH, aku mohon ampun-MU! Tunjukkanlah mereka jalan yang benar!” Apabila ia bersikap seperti demikian, tahulah kami bahawa dia sedang marah. Dan segeralah kamu bertaubat agar dia lepas dari dukacitanya itu” (Kisah Para SUfi (Wali), 1998)
9. KESABARAN AHNAF BIN QAIS
Seorang lelaki mencaci Ahnaf bin Qais, sementara ia tidak menjawabnya. Namun orang itu terus mengikutinya sambil menujukkan caciannya. Sehingga ketika telah berada dekat dengan kampung tempat tinggalnya, Ahnaf berhenti dan berkata, “Kalau masih ada yang tersisa dari cacian anda, katakanlah sekarang. Agar tak terdengar oleh beberapa anak-anak nakal di kampungku, dan mengganggu anda kerananya. (Al-Ghazali)
10. KESABARAN QAIS BIN ASHIM
Pernah ditanyakan kepada Ahnaf bin Qais, “Dari siapakah anda belajar menjadi seorang penyantun (penyabar dan pemaaf)?”
“Dari Qais bin Ashim”, jawab Ahnaf
“Sampai seberapa jauh kesantunannya itu?” tanya orang itu
“Pada suatu ketika, ia sedang duduk di rumahnya, ketika seorang budak perempuan membawakan untuknya daging bakar di atas sebuah dulang yang panas. Malang baginya, dulang itu terjatuh di atas kepala seorang bayi, putra Qais, yang menyebabkan kematiannya. Si budak itu menjadi amat ketakutan. Namun Qais berkata kepadanya, “Tidak usah kamu merasa takut, sejak kini kumerdekakan kamu, semata-mata demi mengharap keredhaan ALLAH SWT” (Al-Ghazali).
11. KESABARAN ABU UTSMAN AL-HIRIY
Suatu ketika, Abu Utsman AL-Hiriy diajak makan oleh seorang yang sengaja ingin mengujinya. Maka ketika sampai di rumahnya, orang itu berkata, “Tak ada urusanku denganmu!”. Mendengar itu, Abu Utsman segera pulang. Tetapi, belum begitu jauh ia melangkah, si pemilik rumah memanggilnya kembali. Dan kembalilah ia. Namun ketika sampai di depan rumahnya, orang itu berkata lagi, “Hai Ustadz, pulanglah!”. Dan ia pun melangkah untuk pulang, sedangkan si pemilik rumah membiarkannya pergi sebentar, lalu memanggilnya kembali, untuk ketiga kalinya.
Abu Utsman menurut saja, dan kembali mendatangi orang itu. Ketika sampai di depan pintunya, orang itu berkata, “Aku tidak punya waktu untukmu!”. Dan sekali lagi Abu Utsman melangkah pulang, tetapi orang itu memanggilnya lagi. Begitulah seterusnya, berulang kali ia memperlakukan Abu Utsman seperti itu, sementara Abu Utsman tidak menunjukkan kekesalan hatinya sedikit pun.
Sampai akhirnya, si pemilik rumah bersimpuh di bawah kedua kaki Abu Utsman, seraya berkata, “Wahai Ustadz, sesungguhnya aku hanya ingin menguji kesabaranmu. Betapa mulianya akhlak anda!”. Maka berkatalah Abu Utsman, “Sesungguhnya yang anda lihat dariku itu, tak lebih dari perangai seekor anjing (merasa tak berharga di hadapan ALLAH SWT ) , apabila dipanggil, ia segera datang, dan apabila dibentak, ia pun terdiam”.
(Al-Ghazali)
12. KESABARAN JALALUDIN AR-RUMI
Suatu hari Jalaluddin Ar-Rumi bertemu dengan dua orang yang sedang bertengkar. Salah seorang di antaranya berkata, “Kalau kamu berkata sepatah kata, aku akan membalas dengan sepuluh kata”. Mendengar percakapan itu, Jalaluddin menyela, “Contohlah aku! kalau kalian berkata kepadaku 1000 kali, aku tidak akan membalas sepatah kata pun”. Seketika itu juga keduanya bersimpuh di kakinya, dan kembali berbaik-baik.
isah Para Sufi (Wali), 1998)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan